Kota Bogor – Wali Kota Bogor, Jawa Barat, Bima Arya Sugiarto, menyuarakan keprihatinannya terkait tafsir masa jabatan lima tahun dalam Undang Undang Pilkada. Bima Arya adalah salah satu dari sejumlah pemohon yang menggugat UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kebingungan norma terkait masa jabatan kepala daerah periode 2019-2024 jika digantikan oleh penjabat (PJ) pada Desember 2023.
Dalam sidang perdana yang dihadiri oleh Bima Arya, Wakil Wali Kota Bogor Dedie Abdul Rachim, dan beberapa kepala daerah lainnya, Bima Arya menegaskan bahwa mereka telah melakukan diskusi dan analisis mendalam untuk memastikan keberadaan kekosongan norma dalam UU Pilkada.
Menurut Bima Arya, Pasal 201 UU Pilkada 2016 yang menetapkan bahwa “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023,” lebih cenderung mengatur waktu pemilihan daripada menjelaskan masa jabatan. Hal ini, menurutnya, menciptakan kekosongan norma terkait penggantian penjabat pada akhir 2023, sementara masa jabatan mereka belum mencapai lima tahun.
Bima Arya tidak sendirian dalam upayanya; sejumlah pemohon lainnya termasuk Murad Ismail (Gubernur Maluku), Emil Elestianto Dardak (Wakil Gubernur Jawa Timur), Marten A. Taha (Wali Kota Gorontalo), Hendri Septa (Wali Kota Padang), dan Khairul (Wali Kota Tarakan).
Pemohon-pemohon ini mempertanyakan norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada, yang, menurut mereka, melanggar hak konstitusional mereka sebagai kepala daerah terpilih. Masa jabatan kepala daerah mereka terpotong karena belum mencapai lima tahun sejak dilantik pada 2019.
Norma yang Diperdebatkan
Contoh konkret yang disampaikan oleh Bima Arya adalah kasus Gubernur Maluku Murad Ismail yang dilantik pada 24 April 2019. Masa jabatannya seharusnya berakhir pada 24 April 2024. Namun, jika diikuti norma Pasal 201 UU Pilkada, masa jabatannya akan terpotong hampir empat bulan.
Pemohon memahami bahwa pengisian jabatan penjabat adalah hal yang sah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Namun, mereka meminta kepastian hukum terkait masa jabatan kepala daerah yang belum mencapai lima tahun terhitung sejak pelantikan.
Tanggapan dan Harapan Pemohon
Bima Arya menjelaskan, “Penting bagi kami untuk memastikan kesinambungan perencanaan pembangunan di tahun politik. Ada rencana pembangunan jangka panjang 2020-2045 yang harus dievaluasi dan diputuskan. Penjabat (PJ) yang mungkin datang pada akhir 2023 tentu akan membawa perbedaan dalam implementasi program-program ini.”
Selain itu, para pemohon berharap agar Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran yang sebaik-baiknya terkait masa jabatan kepala daerah. Mereka menegaskan bahwa gugatan ini tidak bertujuan untuk memperpanjang masa jabatan, karena aturan lima tahun sudah diatur oleh UU. Mereka hanya meminta agar Pasal 201 diinterpretasikan sehingga masa jabatan mereka mencapai lima tahun penuh.
Langkah Selanjutnya
Sidang berikutnya akan fokus pada penerimaan perbaikan dokumen-dokumen pendukung yang diminta oleh hakim MK. Para pemohon dan kuasa hukum mereka diberikan waktu hingga 28 November 2023 untuk melakukan perbaikan. Hakim Konstitusi Suhartoyo berharap agar perbaikan tersebut dapat segera diajukan agar sidang selanjutnya dapat dijadwalkan lebih cepat. Matamaluku-Ac