Ternyata Manusia Sudah Pakai Sunscreen dari 41.000 Tahun Lalu, Bahannya dari Zat Ini

  • Bagikan
perempuan himba
perempuan-himba-di-namibia-utara-berhias-dengan-kosmetik-oker-merah

Jakarta (MataMaluku) – Tim peneliti menemukan tanda-tanda bahwa manusia purba sudah menggunakan tabir surya (sunscreen). Hal ini didukung dengan gaya hidup berlindung di gua pada masa radiasi berbahaya meningkat.

Peneliti memperkirakan Homo sapiens purba diduga sudah menggunakan tabir surya (sunscreen) dan pakaian tertentu, serta hidup di gua 41.000 tahun lalu. Cara ini kemungkinan efektif melindungi manusia dari radiasi berbahaya saat tingkat pancaran sinar ultraviolet (UV) yang naik pada periode tersebut.

Naiknya Sinar UV, Pemakaian Sunscreen, Baju, dan Tinggal di Gua

Tim peneliti dari University of Michigan semula menemukan Kutub Utara bergerak di sekitar Eropa saat kutub medan magnet mulai membalik posisi. Pembalikan kutub medan magnet dari utara ke selatan sendiri adalah proses alami dan sudah terjadi sekitar 180 kali sepanjang sejarah geologi bumi.

Namun, sementara pembalikan magnet belum selesai pada saat itu, medan magnet melemah sehingga menyebabkan aurora muncul di seluruh Eropa dan wilayah Afrika Utara. Sementara fenomena aurora biasanya terjadi karena badai magnetik dan tampak di wilayah dekat kutub saja.

Meskipun fenomena langit ini cantik, tetapi kemunculannya di sebagian besar wilayah memungkinkan lebih banyak sinar UV berbahaya masuk dari luar angkasa.

Berdasarkan analisis korelasional, peneliti mendapati manusia di wilayah-wilayah yang sinar UV-nya meningkat saat itu makin sering menggunakan sunscreen alami berupa oker, mengenakan pakaian tertentu, dan berlindung di dalam gua.

“Kami menemukan bahwa banyak cakupan wilayah (dengan naiknya sinar UV) itu hampir sama dengan tempat-tempat manusia purba beraktivitas sejak 41.000 tahun yang lalu, khususnya yang penggunaan gua meningkat, serta penggunaan tabir surya prasejarahnya juga meningkat,” kata peneliti Agnit Mukhopadhyay, dikutip dari laman University of Michigan.

Sunscreen Prasejarah

Oker adalah pigmen alami yang terbuat dari oksida besi, tanah liat, dan silika. Oker termasuk mineral yang memiliki sifat pelindung Matahari saat dioleskan ke kulit.

Peneliti mendapati, pada periode naiknya tingkat sinar UV 41.000 tahun lalu, orang zaman purba makin sering mengoleskan oker ke badannya. Mereka memperkirakan, naiknya sinar UV juga memengaruhi orang zaman purba untuk menyebar ke seluruh Eropa dan Asia pada saat populasi Neanderthal menurun.

Sebelum Homo sapiens, hominin juga diperkirakan telah memakai oker untuk menghias badan, mengecat barang, dan mengecat dinding gua. Namun, Homo sapiens 41.000 tahun lalu diperkirakan lebih banyak memakainya.

“Ada beberapa uji coba eksperimental yang menunjukkan bahwa zat ini (oker) memiliki sifat seperti tabir surya. Zat ini merupakan tabir surya yang cukup efektif, dan ada juga populasi etnografi yang telah menggunakannya, terutama untuk tujuan tersebut,” kata Raven Garvey, profesor antropologi University of Michigan.

“Peningkatan produksi oker dan hubungannya terutama dengan manusia modern secara anatomis (selama periode tersebut) juga menunjukkan bahwa orang-orang telah menggunakannya untuk tujuan ini (tabir surya) juga,” imbuhnya.

Perempuan Himba di Namibia utara berhias dengan kosmetik oker merah. (Yves Picq via Wikimedia Commons)Praktik memulas oker masih diterapkan perempuan Himba masa kini di Namibia utara. Ia mengenakan oker merah. Foto: Perempuan Himba di Namibia utara berhias dengan kosmetik oker

Baju Zaman Purba

Penggunaan pakaian tertentu juga diperkirakan bantu manusia 41.000 tahun lalu terlindung dari sinar UV. Berdasarkan temuan di situs arkeologi wilayah-wilayah dengan tingkat sinar UV naik, ada alat produksi pakaian pas badan di zaman tersebut.

Beberapa alat pembuat baju pas badan tersebut antara lain pengikis bahan kulit, jarum, dan penusuk. Aktivitas menjahit dengan alat-alat tersebut bantu menghasilkan pakaian yang jauh lebih hangat.

Baju yang semacam itu bisa membuat mereka bepergian lebih jauh tanpa perapian dan keluar gua untuk mencari makanan, sementara kulitnya dapat tetap terjaga dari radiasi sinar UV.

Garvey mengatakan, radiasi Matahari saat itu dapat memicu kerusakan mata dan kekurangan folat, yang dapat menyebabkan cacat lahir dan peningkatan angka kematian bayi.

“Jadi memiliki perlindungan terhadap radiasi Matahari juga akan memberikan keuntungan signifikan bagi siapa pun yang memilikinya,” kata Garvey.

Para peneliti menggarisbawahi bahwa temuan mereka tidak definitif. Namun, penemuan ini merupakan cara baru untuk melihat data yang sudah ada. Hasil studi mereka sendiri telah dipublikasikan di Science Advanced.MM/DC

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *