Yogyakarta (MataMaluku) – Pakar hukum tata negara sekaligus penulis buku “Pergerakan Menuju Pembaharuan Nusantara”, Sri Harjono, mengusulkan agar masa jabatan ketua umum (ketum) dan sekretaris jenderal (sekjen) partai politik dibatasi hanya satu periode atau lima tahun. Usulan ini, menurutnya, penting untuk mencegah partai politik berubah menjadi milik pribadi atau dinasti keluarga.
“Pembatasan ini perlu agar partai politik tidak menjadi ‘hak milik’ satu orang atau keluarga,” tegas Sri Harjono saat membedah bukunya di Gedung UC Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Minggu (1/6).
Ia menyoroti fenomena pasca-reformasi 1999, di mana banyak partai justru berkembang menjadi alat kekuasaan pribadi ketua umum. Akibatnya, nilai-nilai demokrasi kian tergerus dan partai politik lebih berfungsi sebagai kendaraan untuk mempertahankan kekuasaan, bukan sebagai wadah aspirasi rakyat.
“Partai kini cenderung dikelola layaknya perusahaan pribadi, bukan lembaga publik. Jalan aman bagi kader politik adalah menunjukkan loyalitas mutlak pada ketua umum, bukan menunjukkan kapasitas atau prestasi,” ujar Harjono.
Kondisi tersebut, lanjutnya, berdampak sistemik. Tak hanya menghilangkan prinsip meritokrasi di tubuh partai, tetapi juga merembet ke lembaga publik. Jabatan strategis seperti menteri atau pejabat birokrasi lainnya lebih sering diisi atas dasar loyalitas politik, bukan kemampuan.
“Akibatnya, anggaran negara, baik APBN maupun APBD, tidak digunakan secara efektif. Orientasinya bukan untuk kepentingan rakyat, tapi untuk menjaga jaringan kekuasaan,” kata mantan hakim Mahkamah Konstitusi itu.
Lebih lanjut, Harjono menekankan bahwa pembaruan sistem partai politik menjadi hal mendesak demi masa depan Indonesia. Ia mengingatkan bahwa usia Republik Indonesia yang baru menginjak 79 tahun masih sangat muda dan harus terus dijaga dari penyimpangan tujuan bernegara seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
“Sudah saatnya masa jabatan ketua umum partai, sekjen, hingga ketua tingkat provinsi dan kabupaten/kota dibatasi hanya satu periode. Ini adalah langkah awal untuk mencegah konsolidasi kekuasaan yang merugikan rakyat,” tegasnya.
Harjono juga menyinggung bantuan keuangan negara kepada partai politik yang seharusnya dimanfaatkan untuk pendidikan politik rakyat. Namun dalam praktiknya, bantuan tersebut justru memperkuat keberlangsungan dominasi elite partai.
“Bantuan itu seperti pupuk, tapi yang tumbuh bukan demokrasi, melainkan partai yang dikuasai personal atau keluarga,” tandasnya. MM/AC