Soa Bungalembun Gelar Swery Adat: Tuntut Pelunasan Lahan 9,4 Hektare di Pasar Omele

  • Bagikan
Soa Bungalembun Gelar Swery Adat
Soa Bungalembun Gelar Swery Adat

Tanimbar Selatan, Maluku (MataMaluku) – Lima marga dari Soa Bungalembun, Desa Sifnana, Kecamatan Tanimbar Selatan, Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT), menggelar aksi adat berupa swery di area Pasar Omele, Sabtu (29/6) sore.

Aksi ini dilakukan sebagai bentuk penegasan atas hak tanah adat yang hingga kini belum dilunasi oleh pemerintah daerah.

Kelima marga yang terlibat adalah Londar, Lamere, Laratmase, Samangun, dan Jempormase. Mereka menegaskan bahwa pembangunan jalan menuju Pasar Omele tidak boleh dilanjutkan sebelum ada pelunasan atas lahan seluas lebih dari 9,4 hektare yang digunakan untuk proyek tersebut.

“Atas nama warisan leluhur, kami gelar swery adat ini bukan hanya sebagai protes, tetapi sebagai simbol keteguhan menjaga martabat dan hak atas tanah adat,” kata Atanasius Londar, juru bicara marga dalam pernyataannya.

Menurut Londar, persoalan ini sudah berlangsung sejak sekitar 15 hingga 16 tahun lalu, dimulai dari masa kepemimpinan Bupati Bitsael Temar, dilanjutkan Petrus Fatlolon, dan kini memasuki era Bupati Ricky Jawerissa. Ia menyebut nilai lahan yang belum dibayar mencapai Rp 350.000 per meter persegi.

“Ini bukan sekadar soal uang, tapi soal penghormatan terhadap sejarah, nilai-nilai adat, dan martabat orang Tanimbar. Pemerintah harus membuka mata dan hati,” ujarnya.

Kuasa hukum Soa Bungalembun, Andre Matias Go, menyatakan bahwa aksi adat ini dilakukan di 12 titik dalam area yang belum dibayarkan. Ia menegaskan bila pemerintah tidak segera merespons tuntutan ini, langkah hukum dan aksi lanjutan akan dipertimbangkan.

“Pemerintah harus menunjukkan komitmen terhadap hak-hak masyarakat adat yang selama ini terabaikan,” ucap Andre.

Warga Soa Bungalembun menegaskan bahwa mereka tidak menolak pembangunan, namun meminta keadilan dan penghargaan terhadap adat. Mereka berharap swery adat ini menjadi peringatan moral bagi pemerintah agar tidak mengabaikan hak atas tanah adat demi kepentingan proyek.

“Kami ingin pembangunan berjalan, tetapi bukan dengan menginjak-injak hak dan warisan leluhur kami,” tegas salah satu tetua adat yang turut hadir dalam aksi tersebut.MM/DC

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *