Ambon, Matamaluku.com – Psikolog klinis Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Maluku Vebry Wattimena menegaskan, fenomena Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) yang semakin marak di Kota Ambon bukan merupakan gangguan mental dan harus dilakukan edukasi tentang bahaya LGBT itu sendiri.
“LGBT bukan merupakan gangguan mental,” ujar Vebry.
Menurut dia, berdasarkan jenisnya kepribadian manusia pada dasarnya terbagi atas normal dan abnormal. Orang yang normal umumnya memiliki mental yang sehat, sedangkan orang yang abnormal biasanya memiliki mental yang tidak sehat.
Vebry mengatakan, kaum LGBT dapat dikategorikan sebagai abnormal karena membuat seseorang yang mengalaminya dan lingkungan sekitar merasa tidak nyaman dan berisiko menimbulkan dampak negatif lain dari kondisi tersebut.
“LGBT sendiri biasanya masuk dalam gangguan identitas. Artinya apakah dalam kondisi tersebut seorang LGBT merasa nyaman atau tidak. Ketika dia tidak merasa nyaman atau orang-orang di sekitarnya tidak nyaman, sehingga menimbulkan kecemasan dan depresi yang berlebihan, misalnya berisiko melakukan tindakan kriminal, maka saat itulah bisa dikatakan tidak normal,” katanya.
Akan tetapi di sisi lain, kata Vebry, fenomena LGBT sendiri cepat atau lambat dan nyaman atau tidak nyaman, tentu dapat menimbulkan dampak negatif seperti penyebaran HIV/AIDS dan lain sebagainya.
“Pentingnya komunikasi yang terbuka dari kaum LGBT dengan orang-orang terdekat, agar edukasi yang diberikan juga tepat dan ketika sudah teredukasi secara langsung maupun tidak langsung dapat mengurangi LGBT itu sendiri,” katanya.
Vebry menyampaikan, jika ruang diskusi dengan kelompok LGBT tertutup, dikhawatirkan akan memunculkan kelompok-kelompok kecil LGBT yang tidak akan menyelesaikan masalah. Kaum LGBT sendiri cenderung menutup diri dari lingkungan sekitar, kurang tertarik bertemu dengan orang lain, depresi, mengurung diri dan berisiko bunuh diri.
Seorang LGBT, kata Vebry, bisa saja mengubah krisis identitasnya, namun membutuhkan waktu yang cukup lama.
“Biasanya saya ajak ngobrol, saya tanya apa yang membuat orientasi seksualnya berbeda dari yang normal, lalu mengubah pola perilaku dan kebiasaan hidupnya,” kata dia.
Vebry mengatakan, ada dua faktor yang menyebabkan seseorang menjadi gay atau lesbian, yaitu trauma masa lalu seperti korban pelecehan seksual dan faktor lingkungan. Untuk itu, terapi perubahan perilaku sangat penting dilakukan bagi mereka yang ingin berubah menjadi lebih baik.
Sementara itu, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Ambon mencatat jumlah kasus HIV dan AIDS meningkat menjadi 271 kasus di tahun 2022 dan didominasi oleh perilaku seksual sesama jenis.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Ambon Wendy Pelupessy mengatakan, peningkatan kasus HIV dan AIDS dipengaruhi oleh hubungan sesama jenis atau Lelaki Seks Lelaki (LSL).
“Kalau dulu kasus terbanyak di kalangan pekerja seks komersial, tapi sekarang didominasi LSL yang dipengaruhi gaya hidup usia produktif di bawah 45 tahun,” kata Wendy.
Perilaku seksual yang menyimpang, kata Wendy, menjadi salah satu penyebab penularan HIV/AIDS seperti berganti-ganti pasangan dan LSL.
“Kami menduga penularan HIV karena perilaku seksual seperti berganti-ganti pasangan, terutama LSL, dan itu terbukti dari data yang ada jumlah kasusnya meningkat,” ujarnya.
Wendy mengakui, kasus HIV mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2021 tercatat 116 kasus, meningkat pada tahun 2022 menjadi 253 kasus HIV dan 18 kasus AIDS.
Sementara data hingga Februari 2023 tercatat 15 kasus HIV baru dan satu kasus AIDS.
“Peningkatan jumlah kasus ini karena petugas rutin melakukan pelacakan dan pemeriksaan sehingga didapatkan kasus baru di tahun 2023,” ucapnya.