Jakarta – Guru Besar Ilmu Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran, Prof. Muradi, mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam mengkaji draf revisi Undang-Undang TNI dan Polri yang baru saja diterima oleh Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).
Dalam pernyataannya, Prof. Muradi menyoroti beberapa aspek krusial yang perlu diperhatikan dalam revisi tersebut. Pertama, ia menekankan pentingnya kehati-hatian terkait perpanjangan usia pensiun bagi personel TNI dan Polri. “Dalam undang-undang tersebut harus dijelaskan usia 65 tahun itu untuk bidang apa, apakah untuk personel lapangan atau jabatan tertentu?” ujarnya.
Prof. Muradi menjelaskan bahwa perpanjangan usia pensiun hingga 65 tahun dapat diterapkan untuk prajurit yang bekerja di bidang pendidikan dan kesehatan. “Sebagai contoh, dosen di Universitas Pertahanan atau perguruan tinggi yang terafiliasi dengan militer boleh pensiun pada usia 65 tahun, mirip dengan konsep Widyaiswara pada PNS,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa usia pensiun maksimal untuk perwira bisa mencapai 60 tahun, sementara bagi prajurit bintara dan tamtama sebaiknya maksimal 58 tahun.
Selain itu, Prof. Muradi menyoroti perlunya kehati-hatian dalam mengkaji pemberian jabatan sipil di kementerian/lembaga bagi anggota TNI dan Polri. “Ini perlu diperhatikan dengan seksama karena bisa menjadi bumerang bagi institusi TNI dan Polri. Fokusnya seharusnya pada pengembangan organisasi untuk penempatan prajurit, bukan sekadar memberi mereka jabatan di luar institusi mereka,” tuturnya.
Ia juga mengusulkan agar pengembangan organisasi militer dilakukan dengan memperhatikan komando wilayah, seperti mendirikan Kodam di daerah perbatasan atau wilayah konflik. “Pengembangan ini penting untuk memastikan penempatan prajurit sesuai dengan kebutuhan strategis,” tambahnya.
Terakhir, Prof. Muradi mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam mengkaji usulan kewenangan Polri untuk melakukan pemblokiran atau pelambatan akses internet demi keamanan dalam negeri. “Regulasi ini perlu diatur secara detail agar tidak mengancam kebebasan publik. Misalnya, polisi berhak meminta pengurangan sinyal internet di wilayah konflik, namun harus dijelaskan sejauh mana hal ini bisa dilakukan tanpa mengganggu esensi demokrasi,” jelasnya.
Sebelumnya, Staf Khusus Presiden RI Bidang Hukum, Dini Purwono, mengonfirmasi bahwa Kemensetneg telah menerima draf revisi UU TNI dan Polri pada Jumat (7/6). Saat ini, draf tersebut sedang dalam tahap penelaahan untuk proses lebih lanjut. Kedua revisi UU ini telah disetujui sebagai Rancangan Undang-Undang (RUU) inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna DPR RI di Senayan, Jakarta, pada Selasa (28/5). MM/AC