Purwokerto (MataMaluku) – Pakar kebijakan publik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Slamet Rosyadi, menegaskan bahwa penanganan premanisme di Indonesia tidak bisa diserahkan hanya kepada aparat penegak hukum. Ia menyebut, persoalan premanisme bersifat kompleks dan membutuhkan kolaborasi lintas sektor, termasuk dari masyarakat sipil dan kebijakan pemerintah di bidang ekonomi, pendidikan, dan sosial.
“Premanisme tidak bisa ditangani hanya oleh pemerintah saja. Akar masalahnya sangat kompleks, mulai dari kemiskinan hingga kurangnya akses terhadap pekerjaan yang layak,” kata Slamet saat ditemui di Purwokerto, Jawa Tengah, Jumat (30/5).
Menurut Slamet, kemiskinan dan keterbatasan lapangan kerja menjadi faktor utama yang mendorong individu terlibat dalam praktik premanisme. Sektor informal, meskipun ilegal, sering kali menjadi jalan pintas yang tidak memerlukan persyaratan formal.
“Ketika akses pekerjaan sangat terbatas, sebagian masyarakat cenderung mencari alternatif cepat untuk bertahan hidup, termasuk menjadi preman. Ini bukan semata-mata persoalan kriminalitas, tapi juga soal peluang ekonomi,” jelasnya.
Ia menekankan perlunya kebijakan pemerintah yang fokus pada pemberdayaan masyarakat melalui pembukaan akses kerja, pendidikan, dan layanan kesehatan. “Intinya adalah memberikan perhatian dan peluang yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat,” ujarnya.
Slamet juga menyoroti pentingnya pelibatan organisasi masyarakat sipil, seperti ormas keagamaan dan organisasi kepemudaan, dalam memberantas premanisme. Menurutnya, penegakan hukum saja tidak akan efektif tanpa dukungan sosial dari lingkungan sekitar.
“Ormas bisa berperan dalam memberikan pembinaan, pelatihan keterampilan, dan mendorong anggota mereka untuk terlibat dalam kegiatan yang produktif. Dengan keterampilan yang dimiliki, mereka bisa diarahkan menjadi wirausahawan,” katanya.
Terkait pelaksanaan Operasi Aman 2025 oleh kepolisian untuk menindak aksi premanisme, Slamet menilai langkah tersebut penting sebagai bentuk kehadiran negara dalam penegakan hukum. Namun, ia menegaskan bahwa operasi semacam itu tidak bisa berdiri sendiri.
“Operasi itu penting sebagai simbol penegakan hukum. Tapi harus dibarengi dengan program sosial, ekonomi, pendidikan, dan pembinaan jangka panjang agar masyarakat tidak kembali menjadikan premanisme sebagai pilihan hidup,” tegasnya.
Slamet menutup pernyataannya dengan menyerukan perlunya pendekatan komprehensif yang melibatkan pemerintah, aparat keamanan, masyarakat sipil, serta dunia pendidikan untuk secara bersama-sama mencari solusi jangka panjang terhadap premanisme.
“Kalau kita ingin hasil yang berkelanjutan, tidak bisa hanya bergantung pada razia dan penangkapan. Yang dibutuhkan adalah transformasi sosial secara menyeluruh,” pungkasnya. MM/AC