MK Tegaskan Orang Tua Kandung Bisa Dipidana Jika Ambil Paksa Anak

  • Bagikan
Mahkamah Konstitusi MK
Mahkamah Konstitusi (MK)

Jakarta (MataMaluku) – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa orang tua kandung yang mengambil anak secara paksa tanpa hak atau izin dapat dikenai pidana. Tindakan ini dinyatakan melanggar Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terutama jika dilakukan tanpa sepengetahuan atau izin dari orang tua yang memegang hak asuh.

Penegasan tersebut disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam sidang Putusan Nomor 140/PUU-XXI/2023 yang membahas uji materi Pasal 330 ayat (1) KUHP. “Jika orang tua yang tidak memiliki hak asuh mengambil anak secara paksa atau disertai ancaman, tindakan tersebut melanggar hukum dan dapat dipidana,” ujar Arief di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.

Perkara ini diajukan oleh lima ibu yang bercerai dan memiliki hak asuh anak berdasarkan putusan pengadilan, namun anak mereka diduga dibawa lari oleh mantan suami. Para pemohon merasa frasa “barang siapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP menimbulkan ketidakpastian hukum, karena ayah atau ibu kandung dianggap tidak bisa dipidana atas dugaan penculikan anak kandungnya sendiri.

Para ibu tersebut meminta MK untuk memperjelas frasa “barang siapa” dalam pasal tersebut, agar termasuk orang tua kandung. Namun, MK menilai bahwa frasa “barang siapa” sudah mencakup semua orang, termasuk ayah atau ibu kandung. “Frasa ini berarti ‘setiap orang’, termasuk orang tua kandung, dapat dikenai sanksi hukum jika terbukti melanggar Pasal 330 ayat (1) KUHP,” tambah Arief.

MK juga menegaskan bahwa dalam kasus pengambilan anak tanpa izin, penegak hukum, termasuk polisi, tidak boleh ragu dalam menindaklanjuti laporan. Bukti bahwa pelaku, termasuk orang tua kandung, bertindak tanpa izin dari orang tua pemegang hak asuh harus dipertimbangkan.

Meskipun MK menolak permohonan para pemohon untuk memberikan tafsir baru terhadap Pasal 330 ayat (1) KUHP, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Guntur berpendapat bahwa pasal tersebut telah menimbulkan kebingungan dalam penegakan hukum dan seharusnya dapat diubah sebagian sesuai permohonan.

Ketua MK, Suhartoyo, akhirnya memutuskan untuk menolak seluruh permohonan para pemohon, dengan menyatakan bahwa norma Pasal 330 ayat (1) KUHP sudah jelas dan tidak memerlukan perubahan atau tambahan makna. MM/AC

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *