Jakarta – Kuasa hukum Firli Bahuri menyatakan adanya sejumlah pelanggaran dalam proses penetapan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non-aktif sebagai tersangka dalam kasus pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo.
Dalam sidang praperadilan perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin, Ian Iskandar, salah satu kuasa hukum Firli Bahuri, menyoroti berbagai pelanggaran yang terjadi. Salah satunya adalah surat perintah penyidikan yang dikeluarkan pada 9 Oktober 2023, bersamaan dengan laporan polisi Model A.
Ian menegaskan bahwa pembuatan laporan polisi dan surat perintah penyidikan pada tanggal yang sama menunjukkan pelanggaran terhadap Pasal 1 angka 2 KUHAP jo Pasal 1 angka 5 KUHP karena tidak adanya penyelidikan sebelumnya.
“Proses penyidikan tanpa penyelidikan terlebih dahulu melanggar hukum,” ujar Ian. Menurutnya, laporan polisi seharusnya diikuti dengan surat perintah penyelidikan, baru kemudian membahas barang bukti dalam kegiatan ekspose atau gelar perkara.
Ian menambahkan bahwa seluruh tindakan yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya terhadap Firli Bahuri tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, termasuk penetapan status tersangka.
Terkait gelar perkara yang dilakukan pada 22 November, Ian menyatakan ketidakpahaman terhadap siapa yang diundang dalam acara tersebut. Menurutnya, sebagai pejabat negara, gelar perkara Firli seharusnya bersifat khusus, namun pihaknya belum mendapatkan informasi terkait peserta dan pendapat yang disampaikan pada gelar perkara.
Ian juga menegaskan bahwa saksi-saksi yang diperiksa pada tahap penyidikan tidak memberikan keterangan yang relevan terhadap tuduhan pemerasan dan gratifikasi. Menurutnya, tidak ada saksi yang mengetahui, melihat, atau mendengar adanya pemerasan atau tindakan korupsi.
Poin lain yang disoroti adalah penggunaan foto pertemuan antara Firli Bahuri dan Syahrul Yasin Limpo sebagai alat bukti. Ian menganggap bahwa pengambilan foto tanpa seizin pemohon, sebagaimana diatur dalam UU ITE, tidak sah. Selain itu, alat bukti yang digunakan dalam penetapan tersangka dianggap tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menekankan sifat kuantitatif dan kualitatif alat bukti.
Sidang praperadilan dijadwalkan dilanjutkan pada Selasa pukul 13.00 WIB dengan agenda mendengarkan jawaban dari termohon. Matamaluku/Ac