Kenari Bangkitkan Ekonomi: Dari Hutan Liar Menjadi Komoditas Unggulan

  • Bagikan
kenari
kenari kupas yang disusun dalam rak ruangan pengering (dryer house)

Alor, Nusa Tenggara Timur (MataMaluku) – Di bawah terik matahari Pulau Pantar, Ruben (35) tampak tekun meratakan biji kenari yang dijemur di atas terpal biru. Dari rumah sederhananya, suara gemerisik biji kenari dan aroma khas biji kering menjadi saksi bagaimana tanaman hutan ini berubah menjadi tumpuan harapan ribuan warga di ujung timur Indonesia.

“Setiap akhir pekan saya turun ke pasar, beli kenari dari petani, lalu langsung olah di rumah,” ujar Ruben, pengepul sekaligus pengolah kenari asal Pantar.

Meski hanya honorer Dinas Peternakan dengan gaji Rp400.000 per bulan, lulusan Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana ini mampu membuktikan bahwa kenari bisa jadi komoditas emas jika dikelola dengan tepat. Sejak 2022, ia resmi fokus menjadi pengepul dan mengembangkan jaringan distribusi yang menjangkau berbagai kota besar.

Transformasi Pascabencana

Awalnya, kenari (Canarium sp) hanya dikenal sebagai buah hutan yang tumbuh liar. Namun badai Siklon Seroja pada April 2021 yang memorakporandakan Nusa Tenggara Timur, menjadi titik balik. Program pendampingan dari Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI), Pemerintah Kabupaten Alor, dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) membantu warga melihat potensi besar kenari sebagai sumber penghidupan baru.

Riset BRIN mengungkap bahwa kenari Pantar memiliki kualitas unggul: ukuran besar, kandungan lemak tinggi, dan kaya magnesium serta minyak alami. Ini menjadi pijakan awal pembangunan ekosistem pengolahan kenari yang kini berkembang pesat.

Dari Dapur Rumah ke Pasar Nasional

Setiap akhir pekan, Ruben membeli kenari dari empat pasar tradisional di Pulau Pantar dengan harga tinggi, Rp30.000–Rp36.000 per kilogram, demi menopang penghasilan petani di desa-desa terpencil. Setelah dibeli, biji kenari dikeringkan, disortir, lalu direbus sebentar untuk memisahkan kulit tipisnya.

Proses pengupasan dilakukan oleh sebelas ibu rumah tangga setempat, salah satunya Mama Ule (Yuliance Sika), yang memimpin tim kecil dengan standar kebersihan ketat. Setiap kilogram kenari kupas dihargai Rp10.000, memberi tambahan penghasilan bagi para ibu sekaligus membangun ekonomi berbasis komunitas.

Setelah dikupas dan dijemur ulang selama dua hingga tiga hari, kenari dikemas dan siap dikirim ke berbagai kota seperti Jakarta, Kupang, Labuan Bajo, dan Banjarmasin. Kenari kupas dijual seharga Rp90.000 per kilogram, sementara kenari berkulit mencapai Rp65.000. Saat musim panen, Ruben mampu mengirim hingga 100 kilogram per minggu dengan omzet Rp4–7 juta.

Sebagian dari pendapatan disisihkan untuk biaya pendidikan anak dan mendukung kegiatan gereja di mana Ruben menjabat sebagai Ketua Pemuda.

Kenari: Nafas Baru Masyarakat Pantar

Bukan hanya Ruben yang merasakan dampak ekonomi. Mama Asnad (60), seorang petani kenari dari perbukitan Pantar, rela menempuh perjalanan dua jam mendaki batuan terjal demi memanen buah kenari dari hutan.

“Dari jual kenari, saya bisa beli kebutuhan dapur, bahkan menyekolahkan satu dari tujuh anak sampai kuliah,” ujarnya sambil tersenyum.

Kenari pun telah menjadi bagian dari identitas kuliner lokal. Dalam jagung bose—makanan pokok khas Alor—kenari menjadi unsur penambah rasa yang khas dan bergizi tinggi, sering disajikan bersama ikan atau gurita bakar.

Kenari sebagai Ikon Alor

Pemerintah Kabupaten Alor menempatkan kenari sebagai komoditas unggulan daerah. “Kenari ini bukan hanya unggul secara rasa dan nutrisi, tapi bisa menjadi ikon Alor,” kata Bupati Alor, Iskandar Lakamau.

Pemerintah kini membentuk komunitas perlindungan pohon kenari dan bekerja sama dengan WVI untuk mengurus sertifikasi indikasi geografis (IG). Langkah ini diharapkan mendorong hilirisasi dan menjaga agar nilai tambah tetap di tangan masyarakat.

“Harapan kami, kenari tidak hanya diambil mentah, tapi diolah menjadi produk turunan seperti camilan, minyak, bahkan kosmetik. Ini bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan,” jelas Bupati Iskandar.

Kenari Alor: Dari Pinggiran ke Panggung Nasional

Kini, kenari bukan sekadar hasil hutan. Ia menjadi simbol kemandirian, ketahanan pangan, dan harapan baru bagi masyarakat kepulauan. Bagi Ruben dan para petani lainnya, kenari telah membuka jalan untuk bermimpi lebih besar—bahwa dari Pulau Pantar yang sunyi, mereka bisa menghadirkan produk unggulan yang bersaing di pasar nasional, bahkan global. MM/AC

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *