Jakarta – Usman Kansong, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik di Kementerian Komunikasi dan Informatika, menekankan perlunya kewaspadaan terhadap fenomena “deepfake” yang berpotensi menyesatkan pada masa menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Deepfake merupakan salah satu bentuk kecerdasan buatan (AI) yang mampu membuat foto, audio, atau video hoaks yang sangat meyakinkan. Proses pembuatan deepfake melibatkan dua algoritma AI yang saling bertentangan, yaitu generator dan diskriminator.
“Dalam menyongsong pemilu, salah satu hal yang menjadi perhatian kami adalah fenomena deepfake,” ungkap Usman saat membuka acara Focus Group Discussion (FGD) dengan topik ‘Peran Media Pemerintah Dalam Menyukseskan Pemilu Damai 2024’ di Jakarta pada hari Kamis.
Menurutnya, penggunaan AI perlu diawasi dengan ketat agar tidak disalahgunakan atau digunakan untuk kepentingan yang merugikan. Ia mengambil contoh kasus yang menimpa Paul Vallas, seorang kandidat pemilihan wali kota di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, yang menjadi korban deepfake.
“Ada sebuah video deepfake yang menampilkan foto Vallas dengan suara yang mengkritik kekerasan polisi terhadap para demonstran di Amerika Serikat,” jelasnya. “Tentu saja hal tersebut merugikan Vallas, dan akhirnya memengaruhi hasil pemilihan di Chicago.”
Usman menegaskan bahwa situasi ini seharusnya menjadi peringatan bagi semua pihak yang terlibat dalam Pemilu 2024. Oleh karena itu, ia berharap media pemerintah dapat berperan sebagai lembaga yang menjaga kebenaran informasi atau clearing house, sehingga dapat memberikan pencerahan dalam menghadapi permasalahan media sosial.
Pada kesempatan sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, juga mengungkapkan bahwa pedoman etika dalam pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) menjadi sangat penting untuk mengatasi potensi gangguan informasi baru yang muncul akibat teknologi deepfake. Matamaluku