HMI Protes Penyisiran Tambang Gunung Botak: “Gubernur Maluku Abaikan Asas Hukum dan Hak Adat”

  • Bagikan
demo HMI cabang Buru
demo HMI cabang Buru

Namlea, Buru (MataMaluku) – Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Buru menggelar aksi unjuk rasa di Simpang Lima Namlea dan depan Kantor DPRD Kabupaten Buru, Kamis (26/6).

Aksi ini sebagai bentuk penolakan terhadap rencana penyisiran aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Gunung Botak oleh Pemerintah Provinsi Maluku.

Mereka mengecam langkah Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, yang menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 500.10.3/4052 tertanggal 19 Juni 2025 tentang Penertiban dan Pengosongan Tambang Emas Gunung Botak Tanpa Izin, yang ditujukan kepada Kapolda Maluku.

Dalam aksinya, mahasiswa membentangkan spanduk bertuliskan “Gubernur Maluku Tidak Faham Hukum”, sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang dinilai melanggar asas hukum dan mengabaikan kepentingan masyarakat lokal.

Ketua HMI Cabang Buru, Abdullah Fatsey, menilai langkah gubernur tidak mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi terhadap masyarakat, khususnya para penambang tradisional.

“Langkah penyisiran ini terkesan hanya berpihak kepada 10 koperasi yang akan masuk ke tambang Gunung Botak. Mereka tidak memperhitungkan hak ulayat masyarakat adat Petuanan Kayeli yang selama ini hidup dari tambang tersebut,” tegas Fatsey.

Ia juga menuding kebijakan tersebut berpotensi menguntungkan segelintir elite dan melemahkan posisi masyarakat adat. “Gubernur telah mengabaikan asas hukum yang seharusnya menjadi landasan dalam pengambilan kebijakan publik,” kutip Fatsey menambahkan.

Sementara itu, Ketua DPRD Kabupaten Buru, Bambang Langlang Buana, menyatakan dukungannya terhadap kebijakan penertiban yang dilakukan oleh Gubernur Maluku.

Ia menilai, selama lebih dari satu dekade, aktivitas tambang Gunung Botak belum memiliki kejelasan hukum dan cenderung dikuasai oleh para mafia tambang.

“Kami secara kelembagaan mendukung upaya penertiban oleh Gubernur. Tapi koperasi juga harus tunduk pada aturan. Mereka tidak bisa beroperasi sebelum ada izin dan persetujuan resmi dari pemilik lahan,” ujarnya.

Bambang menambahkan, hingga saat ini belum ada penyerahan lahan secara resmi dari tokoh adat atau pemilik lahan kepada pihak koperasi.

DPRD pun menyatakan akan menelusuri legalitas dan dokumen perizinan yang dimiliki 10 koperasi tersebut.

“Koperasi tidak bisa bekerja di atas lahan yang belum diizinkan oleh masyarakat adat. Jika tetap memaksakan diri, itu bisa berujung pada pelanggaran hukum pidana,” tegasnya.

DPRD Kabupaten Buru menyatakan akan mengkaji lebih lanjut seluruh dokumen dan rencana kerja koperasi untuk memastikan tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat lokal maupun ketentuan hukum yang berlaku. MM

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *