Jakarta – Harvey Moeis, yang bertindak sebagai perwakilan dari PT Refined Bangka Tin, didakwa telah merugikan keuangan negara sebesar Rp300 triliun terkait kasus korupsi dalam pengelolaan tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. selama periode 2015–2022.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ardito Muwardi dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, mengungkapkan bahwa terdakwa secara melawan hukum telah memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi, serta menyalahgunakan kewenangannya. Selain itu, Harvey juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaannya.
Atas perbuatannya, Harvey terancam dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
JPU menjelaskan bahwa tindakan korupsi ini bermula dari pertemuan Harvey dengan Direktur Utama PT Timah Tbk. Mochtar Riza Pahlevi, Direktur Operasi PT Timah Alwin Albar, dan 27 pemilik smelter swasta. Pertemuan tersebut membahas permintaan Mochtar dan Alwin untuk memperoleh bijih timah sebesar 5 persen dari kuota ekspor smelter swasta yang sebenarnya berasal dari penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Dengan sepengetahuan Direktur Utama PT Refined Bangka Tin, Suparta, dan Direktur Pengembangan Usaha PT Refined Bangka Tin, Reza Andriansyah, Harvey meminta empat smelter swasta, yaitu CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa, untuk membayar biaya pengamanan sebesar 500 hingga 750 dolar AS per ton, yang seolah-olah dicatat sebagai tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Harvey juga didakwa menginisiasi kerja sama sewa alat pengolahan timah dengan smelter yang tidak memiliki orang kompeten (CP), dan menyepakati harga sewa tanpa studi kelayakan yang memadai. Selanjutnya, Harvey dan smelter-smelter tersebut menyepakati penerbitan surat perintah kerja (SPK) untuk melegalkan pembelian bijih timah dari penambangan ilegal di IUP PT Timah.
Akibat perbuatan ini, negara mengalami kerugian besar, baik dari segi kerusakan lingkungan maupun kerugian ekonomi. Harga sewa alat pengolahan timah yang disepakati, sebesar 4.000 dolar AS per ton untuk PT Refined Bangka Tin dan 3.700 dolar AS per ton untuk empat smelter lainnya, disepakati tanpa kajian yang sah, bahkan dengan dokumen yang tanggalnya dimundurkan.
Selain itu, Harvey juga didakwa menerima biaya pengamanan dari empat perusahaan smelter melalui Helena Lim, pemilik PT Quantum Skyline Exchange. Perbuatan tersebut mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah dan kerugian ekonomi yang besar bagi negara. MM/AC