Jakarta (MataMaluku) – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, mengimbau pemerintah untuk menjaga stabilitas harga pangan dan menunda rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada awal 2025. Hal ini menyusul laporan inflasi Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat inflasi tahunan sebesar 1,55 persen pada November 2024, turun dari 1,71 persen pada Oktober.
Menurut Esther, penurunan inflasi tahunan tersebut dapat menjadi indikasi melemahnya daya beli masyarakat yang berpotensi menurunkan pendapatan riil dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Untuk menjaga stabilitas, dia merekomendasikan tiga langkah utama:
- Menjamin ketersediaan pangan.
- Memastikan kelancaran distribusi bahan pokok.
- Menunda kenaikan tarif PPN yang dijadwalkan berlaku mulai Januari 2025.
Senada dengan itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, juga menilai pentingnya evaluasi kebijakan inflasi. Ia menyoroti risiko kebijakan fiskal yang berpotensi mendorong lonjakan harga barang dan jasa pada tahun depan, yang tidak diimbangi dengan peningkatan daya beli masyarakat.
“Inflasi tahunan yang rendah sebenarnya mengindikasikan lemahnya daya beli. Bila pemerintah tidak hati-hati, lonjakan harga akibat kenaikan PPN dapat memperburuk situasi ekonomi,” kata Bhima.
Selain menunda kenaikan PPN, Bhima menyarankan pemerintah memberikan stimulus tambahan untuk memulihkan daya beli masyarakat, terutama untuk menghadapi target pertumbuhan ekonomi 5 persen pada kuartal IV-2024, yang dinilainya cukup berat untuk dicapai.
Meski inflasi tahunan melandai, inflasi bulanan menunjukkan peningkatan sebesar 0,30 persen pada November dari 0,08 persen pada Oktober. Sementara itu, inflasi tahun kalender hingga November tercatat sebesar 1,12 persen.
Langkah menjaga stabilitas pangan dan menunda kenaikan PPN dinilai penting untuk mencegah dampak negatif lebih lanjut terhadap perekonomian nasional. MM/AC