Jakarta (MataMaluku) – Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami penurunan signifikan pada akhir perdagangan Kamis, seiring dengan melebarinya defisit transaksi berjalan Indonesia pada triwulan II-2024. Rupiah ditutup melemah 100 poin atau 0,65 persen, menjadi Rp15.600 per dolar AS dari posisi sebelumnya Rp15.500 per dolar AS.
“Kamis ini, Bank Indonesia merilis neraca pembayaran, termasuk neraca transaksi berjalan, untuk triwulan II-2024,” ujar Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata, di Jakarta.
Data menunjukkan bahwa pada triwulan II-2024, defisit transaksi berjalan mencapai 3 miliar dolar AS, setara dengan 0,9 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini meningkat dibandingkan triwulan I-2024, di mana defisit tercatat sebesar 2,4 miliar dolar AS atau 0,7 persen dari PDB.
Josua menjelaskan bahwa defisit tersebut sedikit lebih tinggi dari perkiraannya, yang memperkirakan defisit mencapai 0,85 persen dari PDB. Peningkatan ini didorong oleh defisit pendapatan primer yang meningkat secara musiman.
Sementara itu, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) pada Agustus 2024 memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan (BI-Rate) di level 6,25 persen. Keputusan ini diambil untuk mendukung stabilitas rupiah di tengah tingginya ketidakpastian global.
Di sisi lain, imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) diperdagangkan secara mixed akibat tekanan pada rupiah. Volume perdagangan obligasi pemerintah pada Rabu tercatat sebesar Rp23 triliun, menurun tajam dibandingkan volume perdagangan hari sebelumnya yang mencapai Rp34,88 triliun.
Kepemilikan asing pada obligasi Pemerintah Indonesia juga menunjukkan peningkatan, dengan tambahan Rp1,52 triliun menjadi Rp837 triliun, atau 14,33 persen dari total obligasi yang beredar per 20 Agustus 2024.
Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) yang dirilis oleh Bank Indonesia pada Kamis turut mengalami penurunan, tercatat di level Rp15.579 per dolar AS dari posisi sebelumnya Rp15.456 per dolar AS.
Penurunan nilai tukar rupiah ini mencerminkan dampak dari melebarinya defisit transaksi berjalan serta ketidakpastian global yang masih tinggi, yang terus menjadi tantangan bagi perekonomian Indonesia. MM/AC