Jakarta (MataMaluku) – Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) mengajak seluruh pihak untuk bersikap bijak dalam menyikapi polemik seputar industri pertambangan nasional. Sekretaris Jenderal BPP HIPMI, Anggawira, memperingatkan bahwa isu lingkungan kerap dijadikan alat tekanan oleh aktor asing untuk membentuk opini negatif terhadap sektor pertambangan Indonesia.
“Framing negatif terhadap tambang nasional bisa menggerus citra investasi, daya saing, dan stabilitas kebijakan hilirisasi. Kita tidak boleh membiarkan narasi eksternal menggiring opini publik secara tidak berimbang,” ujar Anggawira dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin (8/6).
Anggawira, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi Mineral dan Batubara (Aspebindo), menekankan bahwa Indonesia harus berdaulat atas narasi pengelolaan sumber daya alamnya sendiri, terlebih saat negara-negara lain justru menjalankan praktik pertambangan tanpa standar keberlanjutan yang ketat.
Polemik Tambang dan Kepentingan Nasional
Isu tambang kembali menghangat usai polemik terkait aktivitas pertambangan di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, mencuat ke publik dan memunculkan kekhawatiran akan dampak ekologisnya. Namun, di tengah gejolak ini, para pelaku industri menegaskan bahwa sektor tambang tetap menjadi tulang punggung perekonomian nasional dan bagian dari strategi transisi energi hijau.
“Kita tidak lagi membicarakan tambang dalam konteks konvensional. Ini tentang nikel dan tembaga yang menjadi kunci untuk baterai kendaraan listrik, energi bersih, dan digitalisasi global. Tanpa kontribusi Indonesia, dunia akan kesulitan,” kata Anggawira.
Sektor tambang, lanjutnya, berkontribusi 6–7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), menciptakan ratusan ribu lapangan kerja, serta menyumbang Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan royalti yang terus meningkat setiap tahun.
Perlu Penguatan Tata Kelola dan Penegakan Hukum
Sejak pengesahan UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 dan penerbitan PP Nomor 96 Tahun 2021, pemerintah terus memperkuat tata kelola pertambangan nasional, hilirisasi, serta pengawasan lingkungan. Meski demikian, menurut Anggawira, tantangan utama bukan pada regulasi, melainkan pada aspek penegakan hukum, konsistensi kebijakan, dan transparansi pelaksanaannya.
“Kita butuh tambang yang legal, berkelanjutan, dan modern. Pemerintah harus tegas menindak pelanggaran, tapi juga memberi perlindungan dan insentif kepada perusahaan yang patuh hukum,” tegasnya.
Banyak Praktik Tambang Berkelanjutan Sudah Terwujud
Anggawira juga menepis anggapan bahwa semua tambang bersifat merusak. Ia menyoroti sejumlah perusahaan nasional yang dinilai berhasil menerapkan praktik pertambangan berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Beberapa di antaranya:
-
PT Bumi Resources Tbk (BUMI) melalui Kaltim Prima Coal dan Arutmin, aktif dalam reklamasi dan konservasi keanekaragaman hayati, serta meraih penghargaan PROPER Hijau.
-
PT Merdeka Copper Gold Tbk, yang mengelola tambang emas dan tembaga berbasis pemberdayaan masyarakat dan transparansi.
-
PT Vale Indonesia, sukses dalam revegetasi lahan pascatambang dan pembangunan smelter nikel.
-
PT Freeport Indonesia, pionir tambang bawah tanah dan pembangunan smelter modern di Gresik.
-
PT Bukit Asam (PTBA), yang mengubah bekas lahan tambang menjadi kawasan ekowisata dan pertanian produktif.
“Tahun 2023, lebih dari 30 perusahaan tambang mendapatkan PROPER Hijau dan Emas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” kata Anggawira.
Ia pun mengajak masyarakat dan pemerintah untuk melihat sektor tambang dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan dan kepentingan nasional, bukan semata dari narasi global yang kerap berat sebelah.
“Kalau kita tidak berdaulat atas narasi sendiri, maka kita hanya akan jadi penonton dalam kompetisi global sumber daya masa depan,” tutup Anggawira. MM/AC