Ambon, Maluku (MataMaluku) – Kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan oleh pemerintah pusat kini menjadi sorotan utama di berbagai daerah di Indonesia. Langkah yang sejatinya ditujukan untuk menjaga stabilitas fiskal nasional ini, justru berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap roda pembangunan di tingkat daerah termasuk di Provinsi Maluku.
Dalam beberapa tahun terakhir, Maluku menjadi salah satu provinsi yang giat mendorong percepatan pembangunan infrastruktur, baik di tingkat provinsi maupun di 11 kabupaten/kota. Program pembangunan jalan, jembatan, fasilitas publik, serta pengembangan kawasan ekonomi menjadi bagian penting dari upaya pemerataan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun kini, semua program ambisius itu menghadapi ancaman perlambatan bahkan penghentian sementara akibat kebijakan efisiensi tersebut.
Pemerintah pusat memang memiliki alasan kuat dalam melakukan efisiensi. Situasi global yang tidak menentu, tekanan fiskal akibat pembiayaan berbagai program prioritas nasional, serta kebutuhan menjaga defisit anggaran, menjadi dasar rasional di balik kebijakan ini. Namun, pertanyaan yang muncul kemudian adalah: sejauh mana pemerintah pusat mempertimbangkan dampak nyata kebijakan ini terhadap keberlanjutan pembangunan di daerah?
Provinsi Maluku, sebagai wilayah kepulauan yang masih menghadapi ketimpangan pembangunan antarwilayah, sangat bergantung pada alokasi dana pusat. Dana transfer, dana alokasi khusus (DAK), dan dana alokasi umum (DAU) menjadi sumber utama pembiayaan infrastruktur dan pelayanan publik. Dengan terjadinya pengetatan anggaran, berbagai proyek pembangunan—mulai dari peningkatan jalan lintas kabupaten, pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan, hingga proyek strategis kelautan terancam tertunda.
Dampak lanjutan dari kondisi ini tentu tidak sederhana. Penundaan proyek infrastruktur akan menimbulkan efek domino terhadap pertumbuhan ekonomi lokal. Para kontraktor daerah, pelaku UMKM, hingga masyarakat pekerja harian yang menggantungkan pendapatannya pada aktivitas proyek pemerintah akan ikut terdampak. Lebih jauh lagi, stagnasi pembangunan dapat memperlebar jurang ketimpangan antara wilayah Maluku dengan provinsi lain yang memiliki sumber pendanaan mandiri lebih besar.
Namun di sisi lain, situasi ini juga menjadi ujian bagi pemerintah daerah. Efisiensi anggaran dari pusat bisa menjadi momentum bagi setiap kepala daerah untuk menata ulang prioritas pembangunan, meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran daerah, serta mendorong inovasi pembiayaan melalui kerja sama dengan pihak swasta maupun lembaga non-pemerintah. Pemda perlu menyiapkan strategi diversifikasi pendapatan dan memperkuat kapasitas fiskal lokal agar tidak sepenuhnya bergantung pada kucuran dana pusat.
Kebijakan efisiensi anggaran sejatinya bukan akhir dari pembangunan. Akan tetapi, tanpa koordinasi dan komunikasi efektif antara pemerintah pusat dan daerah, kebijakan ini dapat menciptakan ketimpangan baru dan memperlambat laju pembangunan nasional secara keseluruhan. Oleh karena itu, pemerintah pusat diharapkan dapat meninjau kembali implementasi efisiensi dengan pendekatan yang lebih proporsional, mempertimbangkan kondisi spesifik tiap daerah, termasuk Maluku yang memiliki karakteristik geografis dan tantangan pembangunan yang berbeda dibanding wilayah lain di Indonesia.
Pada akhirnya, efisiensi anggaran seharusnya tidak dimaknai sebagai pemangkasan semata, melainkan sebagai langkah memperkuat kualitas belanja pemerintah. Daerah-daerah seperti Maluku memerlukan kepastian dukungan fiskal agar agenda pembangunan yang telah direncanakan tidak sekadar berhenti di atas kertas. Sebab, keberlanjutan pembangunan di daerah adalah fondasi bagi kemajuan Indonesia secara menyeluruh.MM